BUDAYA menampak-nampakkan sesuatu
kepada orang lain (peudeuh-peudeuh) tampaknya semakin menggejala di masyarakat
kita. Fenomena tersebut, mulai dari persoalan ibadah (hubungan dengan Allah)
sampai dengan persoalan sosial (hubungan dengan manusia).
Berhubungan dengan ibadah (mahdah),
banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena Allah, melainkan karena
manusia. Misalnya, seseorang yang menunaikan ibadah haji, selain memang karena
menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah, kasad dalam hatinya juga ada
unsur agar mendapat pengakuan manusia atasnya.
Berkaitan dengan ibadah sosial,
banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena melaksanakan syariah
Allah, melainkan karena pertimbangan tidak enak sesama manusia (hana meu-‘oh).
Misalnya, seseorang mau mengunjungi orang lain (seperti membezuk orang sakit,
bertakziah kepada orang meninggal, atau bersilaturrahmi biasa) karena orang
lain itu ada mengunjunginya. Kalau orang yang mengunjunginya membawa amplop
berisi uang sebesar Rp100.000,00 misalnya, giliran ia mengunjungi orang
tersebut juga membawa amplop yang berisi uang dengan nilai nominal yang sama.
Jadi, perbuatan yang dilakukannya
itu tidak lebih sekadar membalas kunjungan; mencari impas. Padahal, kadar nilai
amal silaturrahmi yang ikhlas cukup besar di sisi Allah, lantas mengapa tega
kita manipulasikan menjadi perbuatan yang tanpa makna.
Selain itu, misalnya, pada suatu
kampung, ketika ada salah seorang warga yang meninggal dunia, malamnya ratusan
masyarakat berbondong-bondong datang ke meunasah atau ke masjid untuk
melaksanakan samadiyah yang pahalanya dialamatkan kepada almarhum atau
almarhumah. Di pihak lain, ketika ada pengumuman bahwa malam-malam tertentu ada
pengajian umum di meunasah atau di masjid, masyarakat yang hadir hanya belasan
orang. Padahal, memberikan samadiyah hukumnya sunat, sedangkan mengikuti
pengajian hukumnya wajib.
Jadi, tidak logis jika orang mau
melakukan yang sunat sementara yang wajib ia abaikan. Jika kita kaji-kaji lebih
lanjut fenomena tersebut, ternyata animo masyarakat melakukan samadiyah
tersebut bukan didasari atas pertimbangan syariah, melainkan karena
pertimbangan adat. Kalau kita tidak tidak mau bersamadiyah kepada orang, nanti
orang tidak mau bersamadiyah kepada kita. Jadi, yang dikedepankan tetap dasar
hana meu-oh.
Fenomena sosial lain, misalnya,
ketika ada pejabat yang mendapat penghargaan dari seseorang atau lembaga,
unsur-unsur pejabat lain yang berada di level bawah pejabat itu, rame-rame
menyampaikan ucapan selamat secara tertulis di media massa. Jika kita telaah,
sesungguhnya, tujuan publikasi ucapan selamat dan kiriman papan bunga dan
parcel tersebut tidak lain adalah menampakkan kepada orang yang berhajat
tersebut bahwa ia peduli terhadap atasan atau mitranya itu. Jadi, ada
kepentingan lain di balik tindakannya itu.
Masih berkaitan dengan ibadah
sosial, fenomena dalam prosesi pilkada misalnya, betapa banyak kandidat yang
pasang aksi, pasang janji, dan pasang taji (glöng ukè) di hadapan publik yang
semua itu dilakukan mungkin demi meninggikan gengsi, marwah, dan status quonya
di mata publik. Menjelang pilkada, mereka berlomba-lomba peudeuh-peudeuh droe
di berbagai ruang publik (baliho, poster, spanduk, surat kabar, televisi, dan
sebagainya), berlomba-lomba peutoe-peutoe droe ke berbagai elemen publik, dan
berlomba-lomba peujroh-jroh droe di hadapan publik. Setelah prosesi tersebut
sukses dan berlalu, sengap lagè teupeulen panyöt; meusidroe tan deuh lé; dan
mereka itu akan peudeuh-peudeuh droe lagi lima tahun yang akan datang. Apakah
ambisi mereka untuk meraih tampuk kekuasaan atau kepemimpinan didasari oleh
cita-cita yang murni untuk mewujudkan kemaslahatan umat sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Umar bin Khatab misalnya, (ini patut dipertanyakan). Yang kita
lihat jelas dengan kasat mata tidak lain adalah sikap arogansi;
gontok-gontokan, fitnah-fitnahan, jegal-jegalan antarsesama dalam mencapai dan
mengamankan kepentingan masing-masing, sementara konstituen atau publik dipaksa
menonton sajian lakon miris dan mengikuti irama dagelan keegoan mereka. Apakah
lakon seperti itu bukan dikatakan manivestasi ria? Homhai. Yang pasti ujôb
teumeu’a ria teukabô, di sinan nyang lé ureueng binasa. Demikian ungkapan
bahasa Aceh.
Selain dalam hal ibadah, baik
ibadah mahdah maupun ibadah sosial, prilaku ria juga sering muncul dari sikap
seseorang dalam memakai suatu benda (rumah, kendaraan, pakaian, perhiasan,
dll.). Dalam hal ini pelaku ria terlihat dari sikapnya yang cederung memenuhi
keinginan daripada kebutuhannya; mereka ini lebih mengedepankan gaya daripada
dayanya. Misalnya, bagi seseorang yang telah memiliki keluarga, baginya,
memiliki rumah adalah kebutuhan (prioritas utama), dan memiliki mobil merupakan
keinginan (prioritas selanjutnya). Sesungguhnya, keinginan masih dapat ditunda,
sedangkan kebutuhan tak bisa dijeda. Inilah tipe manusia yang melangkahi
kebutuhan menggapai keinginan. Tipe manusia seperti ini jauh dari kebahagiaan
yang sejati karena dasar sikap dan tindakannya berpondasikan ria.
Tidak ada yang salah dari semua
yang dilakukan orang itu, baik ibadah mahdah yang berhubungan langsung dengan
Allah maupun ibadah sosial yang berkaitan dengan manusia. Yang tidak benarnya
adalah tindakan kita dalam memanipulasi ibadah. Ibadah-ibadah yang cukup
bernilai di mata Allah tega kita ciutkan seciut-ciutnya hanya demi ria;
peudeuh-peudeuh kepada manusia. Tersebab ria binasa amal. Inilah yang dalam
peribahasa disebut gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga.
Dalam kitab Sirus Salikin
disebutkan bahwa salah satu penyakit hati adalah ria. Ria diberi pengertian
sebagai tindakan seseorang menapak-nampakkan ibadahnya kepada manusia dengan
tujuan mencari kesenangan atau kepuasan hati. Tindakan seseorang dapat
dikatakan ria jika terpenuhi tiga hal, yaitu (1) adanya niat beria, (2) adanya
sesuatu yang diriakan, dan (3) adanya sasaran periaan. Salah satu dari tiga
unsur tersebut tidak terpenuhi, maka itu bukan dikatakan ria.
Allah menolak amalan hambanya yang
didasari atas ria karena ria itu sendiri hukumnya haram dan tergolong dosa
besar bagi yang memakainya. Orang ria identik dengan orang munafik, demikian
kata seorang ulama tasawuf. Maka, untuk memperkecil, menghilangkan, dan
mengantisipasi sifat ria hadir dalam diri seseorang tidak ada jalan lain selain
dengan ilmu sehingga dapat memosisikan dirinya pada makam ‘arifin atau muttaqin
atau syuhud. Oleh karena itu, berguru untuk mempelajari ilmu tasawuf atau ilmu
tarikat, sebagai salah satu ilmu yang diwajibkan Allah untuk dipelajari
merupakan solusi terbaik.
Sumber:
Serambi Indonesia.
Selasa, 15 November 2011
Oleh Azwardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar