Dunia pendidikan, termasuk
pembelajaran dalam ruangan kelas, tak bisa lepas dari politik, meskipun banyak
yang melarang politik di dunia pendidikan. Alasannya, apa yang diajarkan di
kelas dan bagaimana mengajarnya adalah hasil-hasil dari keputusan
politik. Termasuk juga keputusan politik dalam mengalokasikan anggaran
yang memadai untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran di kelas. Perubahan
kurikulum dari KBK ke KTSP dan pelaksanaan sertifikasi guru juga merupakan
hasil kesepakatan politik. Melaksanakan KTSP dengan pembelajaran aktif juga
bukan tidak berhubungan dengan politik, terutama persaingan SDM Indonesia. Para
politisi bekerjasama dengan para ahli pendidikan mencermati sejumlah fenomena
yang menunjukkan ada masalah dengan SDM dan pola pengembangan SDM Indonesia
sehingga tertinggal dari SDM negara-negara tetangga, misalnya. Menyadari hal
ini, para politisi yang handal dan polite bekerjasama dengan sejumlah aktivis
dan pemikir pendidikan berpikir untuk mengadakan perubahan, baik secara secara
parsial maupun secara keseluruhan.
Selanjutnya dirumuskan sejumlah
rekomendasi bagaimana melaksanakannya. Di antara rekomendasi penting itu ialah
penerapan pembelajaran aktif, yang kemudian disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Dengan pembelajaran seperti ini,
diharapkan akan lahir SDM Indonesia yang aktif, kreatif, dan inovatif di
masa-masa yang akan datang. Tentunya ini akan memerlukan perubahan dalam
paradigm mengajar yang agak berbeda dengan yang lazim dipraktikkan sebelumnya,
yang sifatnya lebih berpusat pada guru.
Pembelajaran aktif ini berpusat
kepada murid atau siswa. Maksudnya, segala pengalaman, bakat, dan belajar
yang dibawa siswa ke kelas perlu dijadikan dianalisa. Tujuannya agar bakat dan
kemampuan siswa berkembang. Guru membantu siswa dalam belajar.
Pembelajaran inilah yang disebut sebagai pembelajaran bermakna (Krause dkk,
2006), karena memang memiliki makna bagi pengembangan kemampuan siswa. Menurut
sejumlah hasil penelitian yang telah dilakukan (Campisi & Finn, 2011; Lee &
Jabot, 2011), pembelajaran seperti ini bisa meningkatkan hasil dan motivasi
siswa untuk belajar, sekaligus membangun lulusan yang kreatif dan inovatif.
Bila berhasil, penduduk Indonesia
yang jumlahnya sudah mencapai 230 juta akan mampu bersaing dan bersanding dengan
kualitas penduduk-penduduk negara-negara maju. Yang lebih penting lagi,
Indonesia tidak akan risih lagi menghadapi era perdagangan bebas, seperti
Perdagangan Bebas antara Cina dan Negara-negara ASEAN (ACFTA) dan persaingan
bebas tingkat dunia. Apalagi ke depan, sumber daya alam Indonesia akan habis,
apalagi sekarang sedang gencar-gencar dikeruk di mana-mana dengan melibatkan
perusahaan-perusahaan besar multinasional. Satu-satunya harapan ke depan ialah
beralih kepada sumberdaya manusia yang berdaya saing tinggi.
Bila berhasil pembelajaran aktif,
suatu saat tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri bukan tenaga-tenaga
yang kurang ketrampilan, seperti pembantu rumah tangga atau buruh kasar seperti
selama ini. Tetapi tenaga-tenaga terampil yang gajinya setara dengan
tenaga-tenaga kerja dari negara-negara lain. Di dalam negeri pun, pembangunan
akan dilaksanakan oleh orang-orang berkualitas. Bukan oleh orang-orang yang tak
jelas kapasitasnya.
Namun, para ahli pendidikan seperti
Fullan (2006) mengingatkan, apapun keputusan politik yang dibuat tentang
pendidikan dan pembelajaran, akan sia-sia kalau para guru tidak mau
menerjemahkan keputusan politik tersebut dalam kelas. Yaitu, keputusan politik
yang mengharapkan guru melaksanakan pembelajaran aktif untuk menghasilkan
peserta didik yang tidak pasif.
Memang pada awalnya agak susah
melaksanakan pembelajaran aktif bagi guru-guru yang terbiasa melaksanakan
pembelajaran pasif. Apalagi bagi guru yang tidak ingin belajar lagi. Namun
demikian, peluang untuk melaksanakannya masih terbuka lebar, lebih-lebih banyak
pelatihan pembelajaran aktif telah dilaksanakan selama ini, baik oleh berbagai
lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun oleh lembaga-lembaga pemerintah serta
perguruan tinggi.
Itupun masih ada kendalanya. Menurut
hasil penelitian Bjork (2006), tidak sedikit inovasi yang berkenaan dengan
pendidikan dan pembelajaran di Indonesia kadangkala tidak sepenuhnya dimengerti
dalam implementasinya di lapangan. Kekurangmengertian itu bukan hanya dialami
oleh para guru, tetapi juga oleh pihak-pihak yang berwenang di pemerintahan.
Memang terdapat sejumlah miskonsepsi tentang pembelajaran aktif, termasuk oleh dosen perguruan tinggi. Misalnya, pembelajaran aktif difahami sebagai pelaksanaannya sebagai transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) oleh dosen yang merasa dirnya sudah mahir dalam PAKEM dan sering menjadi fasilitator pada sejumlah pelatihan guru. Ini merupakan sebuah keyakinan yang sangat bertolak belakang dengan pembelajaran aktif. Kalau pun selama ini telah menjadi instruktur pelatihan pembelajaran aktif, maka jelas telah melakukan sesuatu yang kontradiktif.
Memang terdapat sejumlah miskonsepsi tentang pembelajaran aktif, termasuk oleh dosen perguruan tinggi. Misalnya, pembelajaran aktif difahami sebagai pelaksanaannya sebagai transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) oleh dosen yang merasa dirnya sudah mahir dalam PAKEM dan sering menjadi fasilitator pada sejumlah pelatihan guru. Ini merupakan sebuah keyakinan yang sangat bertolak belakang dengan pembelajaran aktif. Kalau pun selama ini telah menjadi instruktur pelatihan pembelajaran aktif, maka jelas telah melakukan sesuatu yang kontradiktif.
Secara teoritis, pembelajaran aktif
sifatnya mengkonstruksi ilmu pengetahuan, yang dilakukan peserta didik dengan
bantuan guru atau pihak lain yang dianggap lebih mampu di bidang yang sedang
dipelajari. Untuk itu, guru perlu terlebih dahulu mengenal Zone of Proximal
Development (ZPD) atau batas yang menjembatani kemampuan siswa dengan
ketidakmampuannya (Kozulin, 2003; Krause dkk, 2006; Lee & Smagorinsky,
2000; Vygotsky, 1962, 1976, 1978). Setelah mengenal batas ini, guru perlu
merancang bahan yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi dari kemampuan siswa
yang sudah ada, sehingga otak siswa akan tertantang untuk berpikir kritis.
Namun semua ini terserah kepada
guru dan pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan. Maukah mereka dan kita
semua berpolitik untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita adalah pertanyaan
yang perlu dijawab bersama. Maukah para politisi membantu guru berpolitik di
kelas dengan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membantu pelaksanaan
pembelajaran yang layak? Maukah pemerintah mengangkat guru-guru yang
berkualitas agar mampu menerjemahkan keputusan politik di kelas? Maukah para
aktivis menggugat malpraktik dalam dunia pendidikan? Maukah guru-guru menjadi
murid seumur hidup dengan cara terus belajar untuk meningkatkan
profesionalismenya agar selalu mampu melaksanakan hasil kesepakatan politik di
kelas?
Sumber:
Serambi Indonesia,
Senin, 14 November 2011
Oleh Jarjani Usman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar