BANGSA kita saat ini dihimpit
berbagai kenestapaan yang mendera. Para elite negeri ini terus saja menampilkan
budaya ketidakjujuran dalam penyelenggaraan negara. Praktik korupsi yang
menjadi sebab utama kehancuran bangsa ini terus merajalela.
Berdasarkan data dari Political and
Economy Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2010 Indonesia terpuruk dalam
peringkat korupsi antarnegara. Dari 16 negara yang disurvei, Indonesia
dikategorikan sebagai negara paling korup. Sementara pada tahun 2011 ini,
menurut survei Bribe Payer Index (BPI) Transparency International, dari 28
negara yang disurvei, hasilnya Indonesia menduduki negara ke empat terkorup.
Data-data di atas membuktikan bahwa
bangsa ini sedang mengalami krisis karakter jujur. Kalau diamati, para koruptor
tersebut di negeri ini umumnya kaum terpelajar yang nota bene lulusan sekolah
atau perguruan tinggi kita. Tragisnya, praktik pembelajaran di sekolah selama
ini banyak mengalami pergeseran, banyak aktivitas di sekolah yang lebih
menekankan pada aspek-aspek yang bersifat kognitif. Padahal jika mengacu pada
target capaian setiap jenjang tujuan, idealnya semua aktivitas pendidikan yang
dirancang seharusnya mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif,
psikomotorik, dan pembemberdayaan fungsi sosialnya. Proses pembelajaran yang
menekankan pada penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerjasama,
rasa saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging),
rasa tanggung jawab (sense of responsibility), kejujuran, rela berkorban, dan
seterusnya yang diwujudkan melalui pengalaman belajar yang bermakna mulai
tenggelam dengan kesibukan sekolah untuk berpacu mencapai “target nilai”.
Sekolah seolah-olah hanya mengajarkan pengetahuan kognitif demi mengejar nilai
baik, agar mereka lulus ujian dan mengabaikan keseimbangan perkembangan
dimensi-dimensi afektif dan psikomotorik, serta fungsi sosialnya.
Terlebih lagi, sejak digulirkannya Ujian
Nasional dan UASBN, semua stakeholder pendidikan, mulai kepala dinas, kepala
sekolah hingga para guru berlomba mengejar target capaian akhir yang sifatnya
kognitif semata meskipun dengan mengorbankan nilai-nilai kejujuran yang padahal
merupakan nilai yang sangat sakral dalam proses pendidikan. Kriteria kelulusan
seorang siswa hanya terletak pada mata pelajaran yang berorientasi kognitif.
Seolah aspek kognitif itulah yang
menjadi tujuan pendidikan. Tidak sedikit sekolah melegalkan praktik kecurangan
untuk menarik kepercayaan ke masyarakat. Setiap sekolah berlomba-lomba
meluluskan siswa-siswinya sebanyak-banyaknya meskipun harus mengorbankan
nilai-nilai kejujuran.
Mengembalikan kejujuran
Thomas Lickona dari Cortland
University (1992) mensinyalir tanda-tanda kehancuran suatu bangsa, antara lain
yaitu adanya praktik ketidakjujuran yang membudaya. Dan jika kita kaitkan
dengan bangsa ini, nampaknya semua kehancuran yang sedang dialami bangsa kita
berawal dari adanya praktik ketidakjujuran di lembaga pendidikan.
Maka di sini, seharusnya lembaga
pendidikan, para guru dan semua stakeholder pendidikan lainnya tidak lagi hanya
melakukan transfer of knowlade (transfer ilmu pengetahuan) bagi peserta didik,
tapi juga berupaya ekstra menghiasi dirinya dengan keteladanan dan kemudian
mentransfer keteladanan tersebut (transfer of personality) bagi peserta didik.
Melihat realita kondisi bangsa ini seperti yang penulis bahas di atas,
kejujuran merupakan aspek keteladanan yang paling krusial dan mendesak untuk
segera diterapkan dalam semua institusi pendidikan dan para pelaku pendidikan
tentunya. Sebagai pendidik anak bangsa, setiap guru di negeri ini memiliki
kesempatan langsung untuk membangun kejujuran bagi generasi bangsa ini.
Membangun budaya kejujuran di institusi pendidikan, di samping akan
menyelamatkan bangsa ini, juga akan bisa membawa generasi muda bangsa ini dalam
kesuksesan.
Jika merujuk penelitian di Harvard
University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan
seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis
(hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain
(soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar
20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan
orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill. Selain itu, dari data US Department
Health and Human Services tahun 2000 terungkap bahwa faktor risiko penyebab
kegagalan anak di sekolah, termasuk putus sekolah, adalah rendahnya rasa
percaya diri dan keingintahuan, ketidakmampuan mengontrol diri, rendahnya
motivasi, kegagalan bersosialisasi, ketidakmampuan bekerja sama, dan rendahnya
rasa empati anak. Sukses seseorang di kemudian hari ternyata justru lebih
banyak (80%) ditentukan oleh kecerdasan emosi, sedangkan sisanya (20%) oleh
kecerdasan koginitif’(IQ).
Dari ke-13 faktor penunjang
keberhasilan, 10 di antaranya adalah kualitas karakter seseorang dan hanya 3
yang berkaitan dengan faktor kecerdasan (IQ). Ke-13 faktor tersebut adalah
sebagai berikut; jujur, bisa dipercaya dan tepat waktu, bisa menyesuaikan diri
dengan orang lain, bisa bekerja sama dengan atasan, bisa menerima dan
menjalankan kewajiban, mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan
meningkatkan kualitas diri, berpikir bahwa dirinya berharga, bisa berkomunikasi
dan mendengarkan secara efektif, bisa bekerja mandiri dengan kontrol terbatas,
dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya. Tiga yang terakhir yang
berkaitan dengan IQ, adalah; mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan), bisa
membaca dengan pemahaman memadai, mengerti dasar-dasar matematika (berhitung).
Dari penelitian di atas, yang
menjadi faktor utama penunjang keberhasilan seseorang, ternyata kejujuran
berada pada posisi yang paling atas. Artinya, kejujuran merupakan modal
terbesar bagi setiap orang. Jika karakter jujur ini bisa dibudayakan sejak di
lembaga pendidikan sekolah, maka bangsa ini akan maju dan beradab. Maka sejauh
ini, tantangan paling besar bangsa ini sesungguhnya terletak pada bagaimana
menggugah kesadaran guru dan seluruh stakeholder sekolah dan komponen
pendidikan lainya untuk dapat menyadari bahwa kejujuran adalah “nyawa
pendidikan” dan pendidikan merupakan modal membangun bangsa ini. Jika kejujuran
itu sudah hilang, maka pendidikan dan kehidupan manusia akan dipenuhi berbagai
kekacauan.
Sumber: Serambi Indonesia Jumat, 9 Desember 2011
Oleh: Teuku Zulkhairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar