Senin, 12 Desember 2011

PEUDEUH-PEUDEUH (PAMER)



BUDAYA menampak-nampakkan sesuatu kepada orang lain (peudeuh-peudeuh) tampaknya semakin menggejala di masyarakat kita. Fenomena tersebut, mulai dari persoalan ibadah (hubungan dengan Allah) sampai dengan persoalan sosial (hubungan dengan manusia). 

Berhubungan dengan ibadah (mahdah), banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena Allah, melainkan karena manusia. Misalnya, seseorang yang menunaikan ibadah haji, selain memang karena menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah, kasad dalam hatinya juga ada unsur agar mendapat pengakuan manusia atasnya. 

Berkaitan dengan ibadah sosial, banyak orang yang melakukannya bukan semata-mata karena melaksanakan syariah Allah, melainkan karena pertimbangan tidak enak sesama manusia (hana meu-‘oh). Misalnya, seseorang mau mengunjungi orang lain (seperti membezuk orang sakit, bertakziah kepada orang meninggal, atau bersilaturrahmi biasa) karena orang lain itu ada mengunjunginya. Kalau orang yang mengunjunginya membawa amplop berisi uang sebesar Rp100.000,00 misalnya, giliran ia mengunjungi orang tersebut juga membawa amplop yang berisi uang dengan nilai nominal yang sama.

Jadi, perbuatan yang dilakukannya itu tidak lebih sekadar membalas kunjungan; mencari impas. Padahal, kadar nilai amal silaturrahmi yang ikhlas cukup besar di sisi Allah, lantas mengapa tega kita manipulasikan menjadi perbuatan yang tanpa makna. 

Selain itu, misalnya, pada suatu kampung, ketika ada salah seorang warga yang meninggal dunia, malamnya ratusan masyarakat berbondong-bondong datang ke meunasah atau ke masjid untuk melaksanakan samadiyah yang pahalanya dialamatkan kepada almarhum atau almarhumah. Di pihak lain, ketika ada pengumuman bahwa malam-malam tertentu ada pengajian umum di meunasah atau di masjid, masyarakat yang hadir hanya belasan orang. Padahal, memberikan samadiyah hukumnya sunat, sedangkan mengikuti pengajian hukumnya wajib. 

Jadi, tidak logis jika orang mau melakukan yang sunat sementara yang wajib ia abaikan. Jika kita kaji-kaji lebih lanjut fenomena tersebut, ternyata animo masyarakat melakukan samadiyah tersebut bukan didasari atas pertimbangan syariah, melainkan karena pertimbangan adat. Kalau kita tidak tidak mau bersamadiyah kepada orang, nanti orang tidak mau bersamadiyah kepada kita. Jadi, yang dikedepankan tetap dasar hana meu-oh.

Fenomena sosial lain, misalnya, ketika ada pejabat yang mendapat penghargaan dari seseorang atau lembaga, unsur-unsur pejabat lain yang berada di level bawah pejabat itu, rame-rame menyampaikan ucapan selamat secara tertulis di media massa. Jika kita telaah, sesungguhnya, tujuan publikasi ucapan selamat dan kiriman papan bunga dan parcel tersebut tidak lain adalah menampakkan kepada orang yang berhajat tersebut bahwa ia peduli terhadap atasan atau mitranya itu. Jadi, ada kepentingan lain di balik tindakannya itu. 

Masih berkaitan dengan ibadah sosial, fenomena dalam prosesi pilkada misalnya, betapa banyak kandidat yang pasang aksi, pasang janji, dan pasang taji (glöng ukè) di hadapan publik yang semua itu dilakukan mungkin demi meninggikan gengsi, marwah, dan status quonya di mata publik. Menjelang pilkada, mereka berlomba-lomba peudeuh-peudeuh droe di berbagai ruang publik (baliho, poster, spanduk, surat kabar, televisi, dan sebagainya), berlomba-lomba peutoe-peutoe droe ke berbagai elemen publik, dan berlomba-lomba peujroh-jroh droe di hadapan publik. Setelah prosesi tersebut sukses dan berlalu, sengap lagè teupeulen panyöt; meusidroe tan deuh lé; dan mereka itu akan peudeuh-peudeuh droe lagi lima tahun yang akan datang. Apakah ambisi mereka untuk meraih tampuk kekuasaan atau kepemimpinan didasari oleh cita-cita yang murni untuk mewujudkan kemaslahatan umat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khatab misalnya, (ini patut dipertanyakan). Yang kita lihat jelas dengan kasat mata tidak lain adalah sikap arogansi; gontok-gontokan, fitnah-fitnahan, jegal-jegalan antarsesama dalam mencapai dan mengamankan kepentingan masing-masing, sementara konstituen atau publik dipaksa menonton sajian lakon miris dan mengikuti irama dagelan keegoan mereka. Apakah lakon seperti itu bukan dikatakan manivestasi ria? Homhai. Yang pasti ujôb teumeu’a ria teukabô, di sinan nyang lé ureueng binasa. Demikian ungkapan bahasa Aceh. 

Selain dalam hal ibadah, baik ibadah mahdah maupun ibadah sosial, prilaku ria juga sering muncul dari sikap seseorang dalam memakai suatu benda (rumah, kendaraan, pakaian, perhiasan, dll.). Dalam hal ini pelaku ria terlihat dari sikapnya yang cederung memenuhi keinginan daripada kebutuhannya; mereka ini lebih mengedepankan gaya daripada dayanya. Misalnya, bagi seseorang yang telah memiliki keluarga, baginya, memiliki rumah adalah kebutuhan (prioritas utama), dan memiliki mobil merupakan keinginan (prioritas selanjutnya). Sesungguhnya, keinginan masih dapat ditunda, sedangkan kebutuhan tak bisa dijeda. Inilah tipe manusia yang melangkahi kebutuhan menggapai keinginan. Tipe manusia seperti ini jauh dari kebahagiaan yang sejati karena dasar sikap dan tindakannya berpondasikan ria.

Tidak ada yang salah dari semua yang dilakukan orang itu, baik ibadah mahdah yang berhubungan langsung dengan Allah maupun ibadah sosial yang berkaitan dengan manusia. Yang tidak benarnya adalah tindakan kita dalam memanipulasi ibadah. Ibadah-ibadah yang cukup bernilai di mata Allah tega kita ciutkan seciut-ciutnya hanya demi ria; peudeuh-peudeuh kepada manusia. Tersebab ria binasa amal. Inilah yang dalam peribahasa disebut gara-gara setitik nila rusak susu sebelanga. 

Dalam kitab Sirus Salikin disebutkan bahwa salah satu penyakit hati adalah ria. Ria diberi pengertian sebagai tindakan seseorang menapak-nampakkan ibadahnya kepada manusia dengan tujuan mencari kesenangan atau kepuasan hati. Tindakan seseorang dapat dikatakan ria jika terpenuhi tiga hal, yaitu (1) adanya niat beria, (2) adanya sesuatu yang diriakan, dan (3) adanya sasaran periaan. Salah satu dari tiga unsur tersebut tidak terpenuhi, maka itu bukan dikatakan ria. 

Allah menolak amalan hambanya yang didasari atas ria karena ria itu sendiri hukumnya haram dan tergolong dosa besar bagi yang memakainya. Orang ria identik dengan orang munafik, demikian kata seorang ulama tasawuf. Maka, untuk memperkecil, menghilangkan, dan mengantisipasi sifat ria hadir dalam diri seseorang tidak ada jalan lain selain dengan ilmu sehingga dapat memosisikan dirinya pada makam ‘arifin atau muttaqin atau syuhud. Oleh karena itu, berguru untuk mempelajari ilmu tasawuf atau ilmu tarikat, sebagai salah satu ilmu yang diwajibkan Allah untuk dipelajari merupakan solusi terbaik.

Sumber: Serambi Indonesia. Selasa, 15 November 2011
Oleh Azwardi

GURU PERLU BERPOLITIK


KABAR ini memprihatinkan! Sumberdaya manusia (SDM) Indonesia telah tertinggal jauh dibandingkan dengan SDM Malaysia dan Singapore.   Catatan terbaru Human Development Index menunjukkan, Singapore berada di peringkat 25, Malaysia pada 61, dan Indonesia peringkat 111. Hal ini tak terlepas dari berbagai praktik politik yang dilaksanakan di Indonesia, termasuk juga politik di kelas yang dilaksanakan guru.    

Dunia pendidikan, termasuk pembelajaran dalam ruangan kelas, tak bisa lepas dari politik, meskipun banyak yang melarang politik di dunia pendidikan. Alasannya, apa yang diajarkan di kelas dan bagaimana mengajarnya adalah hasil-hasil dari keputusan politik.  Termasuk juga keputusan politik dalam mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran di kelas.  Perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP dan pelaksanaan sertifikasi guru juga merupakan hasil kesepakatan politik. Melaksanakan KTSP dengan pembelajaran aktif juga bukan tidak berhubungan dengan politik, terutama persaingan SDM Indonesia. Para politisi bekerjasama dengan para ahli pendidikan mencermati sejumlah fenomena yang menunjukkan ada masalah dengan SDM dan pola pengembangan SDM Indonesia sehingga tertinggal dari SDM negara-negara tetangga, misalnya. Menyadari hal ini, para politisi yang handal dan polite bekerjasama dengan sejumlah aktivis dan pemikir pendidikan berpikir untuk mengadakan perubahan, baik secara secara parsial maupun secara keseluruhan.

Selanjutnya dirumuskan sejumlah rekomendasi bagaimana melaksanakannya. Di antara rekomendasi penting itu ialah penerapan pembelajaran aktif, yang kemudian disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) atau PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Dengan pembelajaran seperti ini, diharapkan akan lahir SDM Indonesia yang aktif, kreatif, dan inovatif di masa-masa yang akan datang. Tentunya ini akan memerlukan perubahan dalam paradigm mengajar yang agak berbeda dengan yang lazim dipraktikkan sebelumnya, yang sifatnya lebih berpusat pada guru.  

Pembelajaran aktif ini berpusat kepada murid atau siswa.  Maksudnya, segala pengalaman, bakat, dan belajar yang dibawa siswa ke kelas perlu dijadikan dianalisa. Tujuannya agar bakat dan kemampuan siswa berkembang. Guru membantu siswa dalam belajar.  Pembelajaran inilah yang disebut sebagai pembelajaran bermakna (Krause dkk, 2006), karena memang memiliki makna bagi pengembangan kemampuan siswa. Menurut sejumlah hasil penelitian yang telah dilakukan (Campisi & Finn, 2011; Lee & Jabot, 2011), pembelajaran seperti ini bisa meningkatkan hasil dan motivasi siswa untuk belajar, sekaligus membangun lulusan yang kreatif dan inovatif.  

Bila berhasil, penduduk Indonesia yang jumlahnya sudah mencapai 230 juta akan mampu bersaing dan bersanding dengan kualitas penduduk-penduduk negara-negara maju. Yang lebih penting lagi, Indonesia tidak akan risih lagi menghadapi era perdagangan bebas, seperti Perdagangan Bebas antara Cina dan Negara-negara ASEAN (ACFTA) dan persaingan bebas tingkat dunia. Apalagi ke depan, sumber daya alam Indonesia akan habis, apalagi sekarang sedang gencar-gencar dikeruk di mana-mana dengan melibatkan perusahaan-perusahaan besar multinasional. Satu-satunya harapan ke depan ialah beralih kepada sumberdaya manusia yang berdaya saing tinggi.

Bila berhasil pembelajaran aktif, suatu saat tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri bukan tenaga-tenaga yang kurang ketrampilan, seperti pembantu rumah tangga atau buruh kasar seperti selama ini.  Tetapi tenaga-tenaga terampil yang gajinya setara dengan tenaga-tenaga kerja dari negara-negara lain. Di dalam negeri pun, pembangunan akan dilaksanakan oleh orang-orang berkualitas. Bukan oleh orang-orang yang tak jelas kapasitasnya.

Namun, para ahli pendidikan seperti Fullan (2006) mengingatkan, apapun keputusan politik yang dibuat tentang pendidikan dan pembelajaran, akan sia-sia kalau para guru tidak mau menerjemahkan keputusan politik tersebut dalam kelas. Yaitu, keputusan politik yang mengharapkan guru melaksanakan pembelajaran aktif untuk menghasilkan peserta didik yang tidak pasif.

Memang pada awalnya agak susah melaksanakan pembelajaran aktif bagi guru-guru yang terbiasa melaksanakan pembelajaran pasif. Apalagi bagi guru yang tidak ingin belajar lagi. Namun demikian, peluang untuk melaksanakannya masih terbuka lebar, lebih-lebih banyak pelatihan pembelajaran aktif telah dilaksanakan selama ini, baik oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun oleh lembaga-lembaga pemerintah serta perguruan tinggi.

Itupun masih ada kendalanya. Menurut hasil penelitian Bjork (2006), tidak sedikit inovasi yang berkenaan dengan pendidikan dan pembelajaran di Indonesia kadangkala tidak sepenuhnya dimengerti dalam implementasinya di lapangan. Kekurangmengertian itu bukan hanya dialami oleh para guru, tetapi juga oleh pihak-pihak yang berwenang di pemerintahan.  

Memang terdapat sejumlah miskonsepsi tentang pembelajaran aktif, termasuk oleh dosen perguruan tinggi. Misalnya, pembelajaran aktif difahami sebagai pelaksanaannya sebagai transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) oleh dosen yang merasa dirnya sudah mahir dalam PAKEM dan sering menjadi fasilitator pada sejumlah pelatihan guru. Ini merupakan sebuah keyakinan yang sangat bertolak belakang dengan pembelajaran aktif. Kalau pun selama ini telah menjadi instruktur pelatihan pembelajaran aktif, maka jelas telah melakukan sesuatu yang kontradiktif. 

Secara teoritis, pembelajaran aktif sifatnya mengkonstruksi ilmu pengetahuan, yang dilakukan peserta didik dengan bantuan guru atau pihak lain yang dianggap lebih mampu di bidang yang sedang dipelajari. Untuk itu, guru perlu terlebih dahulu mengenal Zone of Proximal Development (ZPD) atau batas yang menjembatani kemampuan siswa dengan ketidakmampuannya (Kozulin, 2003; Krause dkk, 2006; Lee & Smagorinsky, 2000; Vygotsky, 1962, 1976, 1978). Setelah mengenal batas ini, guru perlu merancang bahan yang tingkat kompleksitasnya lebih tinggi dari kemampuan siswa yang sudah ada, sehingga otak siswa akan tertantang untuk berpikir kritis.  

Namun semua ini terserah kepada guru dan pihak-pihak yang menyelenggarakan pendidikan. Maukah mereka dan kita semua berpolitik untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita adalah pertanyaan yang perlu dijawab bersama. Maukah para politisi membantu guru berpolitik di kelas dengan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk membantu pelaksanaan pembelajaran yang layak?  Maukah pemerintah mengangkat guru-guru yang berkualitas agar mampu menerjemahkan keputusan politik di kelas? Maukah para aktivis menggugat malpraktik dalam dunia pendidikan? Maukah guru-guru menjadi murid seumur hidup dengan cara terus belajar untuk meningkatkan profesionalismenya agar selalu mampu melaksanakan hasil kesepakatan politik di kelas?

Sumber: Serambi Indonesia, Senin, 14 November 2011
Oleh Jarjani Usman

KRISIS KEJUJURAN



BANGSA kita saat ini dihimpit berbagai kenestapaan yang mendera. Para elite negeri ini terus saja menampilkan budaya ketidakjujuran dalam penyelenggaraan negara. Praktik korupsi yang menjadi sebab utama kehancuran bangsa ini terus merajalela. 

Berdasarkan data dari Political and Economy Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2010 Indonesia terpuruk dalam peringkat korupsi antarnegara. Dari 16 negara yang disurvei, Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup. Sementara pada tahun 2011 ini, menurut survei Bribe Payer Index (BPI) Transparency International, dari 28 negara yang disurvei, hasilnya Indonesia menduduki negara ke empat terkorup. 

Data-data di atas membuktikan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis karakter jujur. Kalau diamati, para koruptor tersebut di negeri ini umumnya kaum terpelajar yang nota bene lulusan sekolah atau perguruan tinggi kita. Tragisnya, praktik pembelajaran di sekolah selama ini banyak mengalami pergeseran, banyak aktivitas di sekolah yang lebih menekankan pada aspek-aspek yang bersifat kognitif. Padahal jika mengacu pada target capaian setiap jenjang tujuan, idealnya semua aktivitas pendidikan yang dirancang seharusnya mengintegrasikan dimensi-dimensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan pembemberdayaan fungsi sosialnya. Proses pembelajaran yang menekankan pada penanaman aspek-aspek soft skills, yang antara lain kerjasama, rasa saling menghargai pendapat, rasa saling memiliki (sense of belonging), rasa tanggung jawab (sense of responsibility), kejujuran, rela berkorban, dan seterusnya yang diwujudkan melalui pengalaman belajar yang bermakna mulai tenggelam dengan kesibukan sekolah untuk berpacu mencapai “target nilai”. Sekolah seolah-olah hanya mengajarkan pengetahuan kognitif demi mengejar nilai baik, agar mereka lulus ujian dan mengabaikan keseimbangan perkembangan dimensi-dimensi afektif dan psikomotorik, serta fungsi sosialnya. 

          Terlebih lagi, sejak digulirkannya Ujian Nasional dan UASBN, semua stakeholder pendidikan, mulai kepala dinas, kepala sekolah hingga para guru berlomba mengejar target capaian akhir yang sifatnya kognitif semata meskipun dengan mengorbankan nilai-nilai kejujuran yang padahal merupakan nilai yang sangat sakral dalam proses pendidikan. Kriteria kelulusan seorang siswa hanya terletak pada mata pelajaran yang berorientasi kognitif.

Seolah aspek kognitif itulah yang menjadi tujuan pendidikan. Tidak sedikit sekolah melegalkan praktik kecurangan untuk menarik kepercayaan ke masyarakat. Setiap sekolah berlomba-lomba meluluskan siswa-siswinya sebanyak-banyaknya meskipun harus mengorbankan nilai-nilai kejujuran. 
Mengembalikan kejujuran
Thomas Lickona dari Cortland University (1992) mensinyalir tanda-tanda kehancuran suatu bangsa, antara lain yaitu adanya praktik ketidakjujuran yang membudaya. Dan jika kita kaitkan dengan bangsa ini, nampaknya semua kehancuran yang sedang dialami bangsa kita berawal dari adanya praktik ketidakjujuran di lembaga pendidikan.

Maka di sini, seharusnya lembaga pendidikan, para guru dan semua stakeholder pendidikan lainnya tidak lagi hanya melakukan transfer of knowlade (transfer ilmu pengetahuan) bagi peserta didik, tapi juga berupaya ekstra menghiasi dirinya dengan keteladanan dan kemudian mentransfer keteladanan tersebut (transfer of personality) bagi peserta didik. Melihat realita kondisi bangsa ini seperti yang penulis bahas di atas, kejujuran merupakan aspek keteladanan yang paling krusial dan mendesak untuk segera diterapkan dalam semua institusi pendidikan dan para pelaku pendidikan tentunya. Sebagai pendidik anak bangsa, setiap guru di negeri ini memiliki kesempatan langsung untuk membangun kejujuran bagi generasi bangsa ini. Membangun budaya kejujuran di institusi pendidikan, di samping akan menyelamatkan bangsa ini, juga akan bisa membawa generasi muda bangsa ini dalam kesuksesan.

Jika merujuk penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Selain itu, dari data US Department Health and Human Services tahun 2000 terungkap bahwa faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah, termasuk putus sekolah, adalah rendahnya rasa percaya diri dan keingintahuan, ketidakmampuan mengontrol diri, rendahnya motivasi, kegagalan bersosialisasi, ketidakmampuan bekerja sama, dan rendahnya rasa empati anak. Sukses seseorang di kemudian hari ternyata justru lebih banyak (80%) ditentukan oleh kecerdasan emosi, sedangkan sisanya (20%) oleh kecerdasan koginitif’(IQ).

Dari ke-13 faktor penunjang keberhasilan, 10 di antaranya adalah kualitas karakter seseorang dan hanya 3 yang berkaitan dengan faktor kecerdasan (IQ). Ke-13 faktor tersebut adalah sebagai berikut; jujur, bisa dipercaya dan tepat waktu, bisa menyesuaikan diri dengan orang lain, bisa bekerja sama dengan atasan, bisa menerima dan menjalankan kewajiban, mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri, berpikir bahwa dirinya berharga, bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif, bisa bekerja mandiri dengan kontrol terbatas, dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya. Tiga yang terakhir yang berkaitan dengan IQ, adalah; mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan), bisa membaca dengan pemahaman memadai, mengerti dasar-dasar matematika (berhitung).

Dari penelitian di atas, yang menjadi faktor utama penunjang keberhasilan seseorang, ternyata kejujuran berada pada posisi yang paling atas. Artinya, kejujuran merupakan modal terbesar bagi setiap orang. Jika karakter jujur ini bisa dibudayakan sejak di lembaga pendidikan sekolah, maka bangsa ini akan maju dan beradab. Maka sejauh ini, tantangan paling besar bangsa ini sesungguhnya terletak pada bagaimana menggugah kesadaran guru dan seluruh stakeholder sekolah dan komponen pendidikan lainya untuk dapat menyadari bahwa kejujuran adalah “nyawa pendidikan” dan pendidikan merupakan modal membangun bangsa ini. Jika kejujuran itu sudah hilang, maka pendidikan dan kehidupan manusia akan dipenuhi berbagai kekacauan.

Sumber: Serambi Indonesia Jumat, 9 Desember 2011
Oleh: Teuku Zulkhairi